Minggu, 11 Oktober 2009

Perubahan secara cepat pada awal-awal kemerdekaan dan munculnya benih-benih politik Luar Negeri

Pendahuluan
Semangat kemerdekaan di awal tahun1945 sangat bergejolak diwaktu itu. Bangsa Indonesia pada waktu itu pun menjadi dilema, dikarenakan penderitaan penjajahan tiada akhir. Suatu ketika perjuangan bangsa Indonesia untuk memaksa kemerdekaan dengan berbagai pertempuran. Pertempuran di berbagai daerah. Pertempuran Bangsa Indonesia yang konon hanya menggunakan bambu runcing sebagai senjata utama untuk melawahan penjajah, yang menjadikan semangat kemerdekaan itu masih ada. Betapa sulitnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Negara Indonesia ini di waktu itu. Ada beberapa tokoh yang sangat dominan dalam pembentukan Negara Indonesia yang merdeka diantaranya Soekarno, Hatta, Radjiman Wedyodiningrat, dan Sutan Syahrir.
Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 14 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda tidak mau menerima Sukarno-Hatta yang diantar oleh Maeda Tadashi dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945 telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Akhirnya Sukarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tau. Melihat perdebatan yang panas itu Maeda dengan diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar Maeda mematuhi perintah Tokio dan dia mengetahui sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik. Myoshi yang setengah mabuk duduk di kursi belakang mendengarkan penyusunan teks tersebut tetapi kemudian ada kalimat dari Shigetada Nishijima seolah-olah dia ikut mencampuri penyusunan teks proklamasi dan menyarankan agar pemindahan kekuasaan itu hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10.00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.
Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Walaupun, pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Tapi, dengan semangat kemerdekaan dan nasionalis yang tinggi Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada hari Jumat, 17 Agustus 1945.







Pembahasan
Dilema Bangsa Indonesia pada masa transisi kemerdekaan
Kemerdekaan adalah sebuah cita-cita yang banyak diharapkan oleh Negara yang terjajah. Bahkan bias jadi merdeka itu harapan setiap orang yang mengalami kebuntuan penghasilan, uang yang terus mengalir dengan passive income. Sama dengan Bangsa Indonesia pada masa penjajahan Jepang-Belanda dan para sekutunya, Bangsa Indonesia mencita-citakan kemerdekaan yang selama penjajahan berlangsung. Meskipun bangsa Indonesia mencita-citakan kemerdekaan ada satu hal dilematis yang ada.
Perjuangan Bangsa Indonesia untuk menuntut kemrdekaan, banyak sekali gesekan antara sekutu dengan Nergara Indonesia ini. Indonesia yang tiba-tiba memprokalamsikan kemerdekaan dan dunia internasional pun terkejut dan secara tiba-tiba ada proklamsi kemerdekaan RI. Yang mana Indonesia pada waktu itu Indonesia masih diambil alih oleh sekutu dari rezim penjajah Jepang. Kemerdekaan itu diprakarsai oleh Ir. Soekarno dan kawan-kawannya di sebuah rumah yang tak terduga bahwa itu adalah rumah salah satu orang bagian dari penjajah Jepang. Setelah beberpa waktu kemudian Indonesia pun menggelar perundingan-perundingan untuk menemui kesepakatan dengan sekutu yang pada waktu itu masih ada Indonesia.]
Yang pertama perundingan yang diawali di kota Jakarta pada bulan Oktober, perundingan itu menyepakti adanya gencatan senjata utnuk menghentikan pertempuran sporadis.
Yang kedua perundingan Linggarjati Cirebon, kedua pihak menyepakati adanya status Negara dan luas wilayah Indonesia yang kelak akan dibentuk Negara Indonesia Serikat. Pihak sekutu yang setuju mengakui facto atas jawa, madura, dan sumatera. Indonesia diwakili oleh Kabinet Sjahrir III yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan tiga anggota: Mohammad Roem, Susanto Tirtoprodjo, dan AK Gani. Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Schermenhorn dengan anggota Max Van Poll, F de Boer, dan HJ Van Mook. Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.
Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:
1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura.
2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1946.
3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth atau Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.
Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.
Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak baik.

Intervensi PBB
Awal permulaan dari intervensi PBB karena adanya pengunduran diri Sjahrir yang digantikan oleh Amir dan jalan kekerasan Belanda menandi akhirnya tahap pertama kebijaksanaan diplomasi. Kebijaksanaan itu telah mendapatkan perolahan yang nyata, kendatipun terbatas. Diatas segalanya kedudukan internasional republik telah dipertinggi sebagai hasil derajat pengakuan de facto yang diberikan penandatanganan perjanjian Linggarjati. Mengingat situasi ini, kepemimpinan politik hanya dapat bertahan dengan diplomasi yang mencari idealnya pengaruh dari pihak ketiga yang dapat menguatkan tuntutan Indonesia akan kemerdekaan. Apa yang terjadi ialah tidak seperti yang diharapkan, tetapi dalam situasi yang kritis ini hubungan internasional republik menunjukan hasil. Konsekuensi langsung penggunaan cara kekerasan oleh Belanda ialah tanggapan internasional yang hangat dan melibatkan PBB dalam masalah kemerdekaan Indonesia. Perkembangan baru ini mengubah kerangka dan situasi politik yang didalamnya perjuangan telah berlangsung.
Pembicaraan dengan Belanda dimulai lagi pada tanggal 8 Desember di atas kapal Angkatan Laut Amerika Serikat, Renville yang berlabuh di lepas pantai Jakarta. Tanggal 17 Januari 1948 berlangsung konferensi di atas kapal perang Amerika Serikat, Renville, ternyata menghasilkan persetujuan sebagai berikut. Kedaulatan seluruh Hindia Belanda akan berada pada Belanda hingga pembentukan Indonesia Serikat yang akan menjadi negara berdaulat dan merdeka. Negara Serikat ini nantinya akan menjadi mitra sederajat dengan Belanda dalam suatu kesatuan di bawah pimpinan raja Belanda. Status republik dalam wilayah yang ditentukan batasnya akan menjadi negara bagian dari Indonesia Serikat. Ketentuan mengenai referendum telah dibuat untuk pulau-pulau Jawa, Madura dan Sumatera yang di awasi secara internasional guna menentukan apakah penduduk di ketiga pulau tersebut berkeinginan menjadi bagian dari republik ataukah membentuk negara bagian sendiri dalam struktur federal. Akhirnya semua negara bagian harus diberi perwakilan yang adil dalam pemerintahan sementara yang dibentuk sebelum pengesahan konstitusi bakal Indonesia Serikat.
Penyerahan kedaulatan
Ketidakmampaun untuk memaksakan penyelesaian di Indonesia dengan semakin kuatnya tekanan internasional untuk memulihkan pemerintahan republik ke Yogyakarta, memaksa Belanda pada bulan Februari 1949 mengusulkan konferensi pendahuluan di Deh Haag. Dalam pertemuan ini semua yang terlibat dalam konflik akan merumuskan ketentuan mengenai penyerahan kedaulatan yang dipercepat. Prakarsa ini mengwali suatau perundingan yang panjang yang mencapai titik puncaknya pada tanggal 5 Mei 1949 berupa kompromi dari pihak republik berkat dari tekanan Amerika.
Di Den Haag, keyakinan Deplu Ameriks Serikat Bahwa hal yang mendesak bagi kepimimpinan republik untuk kembali ke Indonesia dengan hadiah kemerdekaan merupakan tantangan bagi hasil akhir perundingan. Penyerahan kedaulatan dicapai dengan perundingan-perundingsn Perundingan-perundingan ini dilaksanakan oleh penganjur dan eksponen diplomasi bersama dengan mitra federal yang dapat diterima Belanda. Dan akhirnya penyerahan kedaulatan dari tangan sekutu berpindah ke Indonesia, setelaha perundingan panjang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar